Khutbah Jum’at
الحمـــــد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحـق ليظهره على الدين كلـــه ارسله بشيرا ونذيرا وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا، أشهد أن لاإله إلاالله وحده لاشريك له شهادة أعدها للقائه ذخرا، وأشهــــتد أن محمدا عبده ورسولــــه ارفع البرية قدرا اللـــهم صل على سيدنا محمد وعلى اَلـــه وصحبــــه وسلم تسليمـــــا كثيرا أما بعــــد فيا عبـــــادالله أوصيكم ونفسي بتقــــوى الله قفـــــد فازالمتقـــون، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ، بسم الله الرحمن الرحيم يا أيها الذين أمنوا اتقــــواالله حق تقــاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون.
Sidang jum’at yang berbahagia
Sidang jum’at yang berbahagia
Dalam suasana khidmat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1431 H , marilah kita memperbaharui kembali komitmen kita untuk selalu meningkatkan nilai dan kualitas taqwa kita kepada Allah swt. Taqwa bukanlah sesuatu yan datang tiba-tiba, tetapi merupakan proses panjang, buah dari hidup, konsistensi dalam pola hidup. Pada awal surat Al-Baqarah dsebutkan bahwa orang yang bertaqwa (muttaqin) adalah orang yang konsisten iman kepada yang gaib, konsisten mendirikan shalat, konsisten menginfaqkan sebagian rizqi yang diperoleh, beriman kepada otoritas wahyu, beriman akan konsekuensi yang akan diterima di akhirat, dan konsisten berpegang teguh kepada petunjuk Tuhan dijamin akan memperoleh keberuntungan, wa’ula’ika hum al muflihun.
Kehadiran manusia di muka bumi ini merupakan perwujudan dari sifat Rahman dan Rahim Allah, berasal dari limpahan rahmat Allah, dan kesemuanya nanti akan berpulang ke rahmatullah. Begitullah sunatullah kehidupan. Di dunia manusia dibekali dengan tubuh yang sempurna, kejiwaan yang lengkap dan sempurna, cadangan rizqi yang melimpah, yang dengan itu semua manusia diuji siapa di antara mereka yang lebih berfikir dan berbuat positif (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘ amala). Kepada manusia yang konsisten mematuhi petunjuk Tuhan, Allah akan membalasnya berupa kebahagiaan surgawi, dan kepada yang durhaka dan menyimpang, Allah swt akan menyediakan balasan berupa siksa neraka.
Di dunia, manusia memiliki dua predikat, yakni sebagai khalifatullah dan sebagai hamba Allah (abdullah). Sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam hidupnya. Ia diberi kebebasan untuk mengatur hidupnya sesuai dengan cita-cita dan aspirasinya. Sebagai imbangan dari kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki, manusia bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya sebagai individu dan sebagai ummat. Bagaimana kualitas kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai ummat bergantung kepada kreatifitas, inovasi dan tanggung jawab mereka sebagai khalifatullah fil ardl. Sedangkan sebagai hamba (abdun), manusia adalah makhluk yang kecil, lemah dan tidak merdeka. Manusia dibatasi umurnya, dibatasi kemampuannya, dibatasi ruang geraknya dan intinya adalah sebagai makhluk yang memiliki banyak keterbatasan.
Sudah menjadi kodrat kehidupan, meski manusia memiliki kesamaan martabat (equality) sebagai manusia, tetapi lemah daya fikirnya, ada yang cerdas luar biasa, tetapi fisiknya lemah, ada yang pintar dalam bidang satu tetapi lemah dalam bidang yang lain dan begitulah seterusnya. Allah menciptakan manusia berjenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mereka berbeda-beda suku, etnik, agama, keyakinan, bangsa dan budaya. Perbedaaan tersebut dimaksudkan agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat di antara satu dengan lainnya (li ta’arafu). Meski manusia memiliki keragaman (diversity), namun di hadapan Tuhan mereka memiliki martabat kemanusiaan yang sama. Allah tidak melihat cantiknya rupa, hitam putihnya warna kulit dan besar kecilnya tubuh manusia, tetapi hati dan jiwanyalah yang dilihat oleh Allah. Di depan Tuhan, manusia yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa. “Inna akramakum ‘indallahi atqakum”. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain, “Khairunnas anfa’uhum linnas”.
Berangkat dari realita adanya perbedaan itu, Allah memberi petunjuk agar dalam kehidupan itu, yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda, dan yang kuat membantu yang lemah. Dari prinsip itulah maka lahir etika pergaulan, etika ekonomi, dan etika politik. Orang yang diberi amanah menduduki jabatan sebagai penguasa politik (umara’) dibebani amanah kewajiban untuk melindungi hak-hak masyarakat sipil (warga Negara); jiwa mereka, harta mereka, akal mereka, keyakinan mereka, dan kesucian keturunan mereka, yakni apa yang dalam ilmu fiqih disebut al kulliyat al khams: hifdzul nafs, hifdzul mal, hifdzul aql, hifdzuddin, dan hifdzunnasl). Negara harus menjamin rasa aman, peluang usaha, kebebasan berpendapat, kebebasan menjalankan agama dan kesucian pergaulan rakyatnya. Kekuasaan kenegaraan sering menggoda untuk berlaku tidak adil, oleh karena itu kepada pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya secara adil (imamun ‘adilun), Allah menempatkan mereka sebagai manusia utama, terutama di akhirat nanti, sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah saw.
Sebagai imbangan dari kekuasaan negara, rakyat atau masyarakat sipil, di samping wajib mematuhi imam, juga memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk mengawasi dan menegur penyelenggaraan kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan sebagai wujud dari amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagai imbangan dari kekuasaan negara, rakyat atau masyarakat sipil, di samping wajib mematuhi imam, juga memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk mengawasi dan menegur penyelenggaraan kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan sebagai wujud dari amar ma’ruf nahi munkar.
Jika keseimbangan berlangsung antara kewajiban dan hak, maka akan berlangsung kehidupan yang bersih dan indah, kehidupan individual maupun kehidupan masyarakat, bahkan kehidupan berbangsa. Sebaliknya jika kekuasaan terlalu kuat tanpa tersentuh pengawasan masyarakat atau kekuasaan tidak efektif sementara kontrol masyarakat melampui batas, maka yang terjadi adalah pembusukan (fragmentation), baik pembusukan politik atau ekonomi, yang dampaknya akan meluas menjadi pembusukan moral dan sosial. Jika ketidakseimbangan itu berlangsung lama, maka masyarakat tidak lagi memiliki kenyamanan hidup, karena atmosfir kehidupan sudah tercemar/terkontaminasi oleh berbagai kebusukan. Uang mengatur kekuasaan, yang kuat menindas yang lemah, kebatilan (yang terorganisir) mengalahkan suara kebenaran (yang hanya sayup-sayup), keadilan tertintas oleh kedzaliman dan anarkhi terjadi di mana-mana.
Menurut perspektif al-Qur’an, membangun bangsa tidaklah mudah. Sudah menjadi sunnatullah sejarah bahwa kejayaan suatu bangsa didahului oleh jatuh dan bangun (masa-masa revolusi fisik dan non fisik). Sunnatullah dalam sejarah juga mengajarkan bahwa krisis kehidupan bangsa-bangsa sudah terjadi sejak dahulu, tetapi manusia sering lupa mengambil pelajaran, sehingga krisis yang sama menimpa berulang-ulang. Al-Qur’an menyebut ada tiga jenis bencana yang menimpa bangsa terdahulu ; “massathumal ba’sa waddhorro’ wa zulzilu” ( Q.S al Baqarah : 214), yakni (1) al ba’sa, (2) dhorro’ (3) zulzilu. Ba’sa mengandung arti kesulitan yang disebabkan oleh tersumbatnya pintu-pintu kebaikan atau potensi-potensi positif, sedangkan dhorro mengandung arti kesulitan yang bersumber dari terbukanya pintu-pintu atau ancaman potensi-potensi negatif. Kesulitan yang dialami oleh suatu masyarakat atau bangsa adakalanya datang dari faktor luar, misalnya angin kencang hutan lebat, bencana alam, kemarau panjang, wabah, anarkhi korupsi, kezaliman dan sebagainya. Jika kedua kesulitan itu berlangsung lama, maka ujungnya adalah zulzilu, yakni masyarakat dan bangsa digoyang oleh berbagai kesulitan luar dalam oleh kompilkasi masalah, dipermainkan oleh pihak luar dan dikhianati oleh pihak dalam, diserang dari luar dan digerogoti dari dalam. Jika sudah dalam keadaan seperti itu, maka menurut al-Qur’an hanya tinggal satu jalan, yaitu bertaubat dan mengikuti tuntunan Tuhan. Bangsa itu harus bertanya secara sungguh-sungguh, “mata nasrullah ? Kapan kiranya datang pertolongan Allah. Jika bangsa itu sudah secara sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah yang diwujudkan dalam perilaku, maka baru ada jawaban; bahwa fajar segera menyingsing, pertolongan Allah akan segera tiba, segala kesulitan akan terurai, semua kebekuan akan mencair atas berkat Allah, “ala inna nashrallahi qarib”.
Memberantas Penyakit Korupsi
Dewasa ini, bangsa Indosesia sedang dililit berbagai kesulitan, bahkan sudah berada dalam stadium tiga dari kesulitan al ba’sa, addhoro’ dan zulzilu. Krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini sebagian besar disebabkan oleh kesalahan kita, yakni apa yang sekarang disebut KKN. Korupsi sudah menjadi budaya masyarakat, bukan saja kalangan elit birokrat, tetapi juga pada masyarakat luas di berbagai bidang. Akibatnya sumber daya alam yang melimpah di negeri ini tidak lagi berfungsi sebagai pintu keberkahan hidup (barakatim minassamaa’i wal ardl). Apa yang mestinya sudah dikerjakan menjadi sulit, apa yang mestinya membutuhkan waktu sebentar menjadi berlarut-larut, apa yang bisa deperoleh secara murah menjadi mahal. Sebaliknya apa yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan justru berubah menjadi merugikan, apa yang semestinya merupakan potensi positif menjadi negatif, apa yang semestinya menjadi kekuatan berubah menjadi beban. Begitulah jika keberkahan telah hilang dari kehidupan masyarakat.
Bagaimana Memberantas Korupsi?
Akar dari maraknya praktek korupsi adalah (a) pola kehidupan konsumtif-konsumerisme dan hedonis, (b) salah urus dalam penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara (c) lemahnya sistem pengawasan, dan (d) minimnya keteladanan. Dalam suasana kehidupan yang demikian maka yag subur adalah ketamakan, kriminalitas dan kemaksiatan. Orang selalu bertanya apa yang dapat saya ambil, bukan apa yang dapat saya sumbangkan. Petugas pelayanan masyarakat bukan membantu masyarakat tetapi mempersulit hal-hal yang mudah. Premanisme berkembang dan hukum menjadi permainan para penegaknya (mafia peradilan).
Sebenarnya banyak petunjuk baku untuk keluar dari krisis ini tetapi yang penting adalah kemauan para pemimpin (political will) untuk mengajak seluruh warga bangsa keluar dari kesulitan. Diantara langkah yang dapat dilakukan untuk membasmi akar masalah korupsi adalah:
1. Ciptakan kehidupan yang bersih; bersih dari kemaksiatan, bersih dari yang diharamkan, bersih dari penyimpangan, dan kuncinya adalah penegakan supremasi hukum
2. Populerkan hidup sederhana; sederhana dalam hal konsumsi, sederhana dalam hal berpakaian, sederhana dalam hal bangunan, sederhana dalam hal kendaraan, sederhana dalam prosedur, sederhana dalam upacara, sebaliknya kedepankan substansi, utamakan isi (content), sederhanakan kulit (tampilan luar). Sederhana adalah mengkomsumsi sekadar yang dibutuhkan sesuai standar kebutuhan universal. Orang boleh kaya raya, tetapi yang dikonsumsi sekadar yang diperlukan.
3. Budayakan pola hidup mengabdi, yakni bahwa pimpinan adalah pelayan bagi rakyatnya, sayyid al qaumi khadimuhum, pegawai adalah pelayan masyarakat, orang pandai adalah pelayan bagi masyarakat awam. Saya yakin dengan itu semua maka seluruh aktifitas masyarakat menjadi bermakna ibadah.
4. Ketiga hal itu hanya bisa efektif jika dimulai dengan keteladanan para pemimpin. Tuhan menganugrahi bangsa Indonesia sifat peternalistik (civil obidience), yakni apapun yang dicontohkan oleh pemimpin yang baik, rakyat akan mengikutinya.
Akhirnya, dalam momentum bulan suci Ramadan 1431 H dan di tengah situasi sulit seperti ini marilah kita sejenak menengadahkan tangan kita memohon kepada Allah rabbul ‘izzati agar kiranya Allah swt segera menurunkan pertolongan kepada bangsa ini.
Ya Allah ya Tuhan kami, tunjukkanlah kami bangsa ini kepada jalan Mu yang lurus, shirat al mustaqim, jalan yang dicontohkan oleh para Nabi, syuhada’ dan salihin, bukan jalan dari orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan dari orang orang-orang yang sesat.
Ya Allah ya Tuhan kami, jangan engkau sesatkan hati bangsa ini setelah Engkau memberi pertunjuk kepada mereka, mudahkan rahmat-Mu ya Allah, karena Engkaulah Tuhan Maha Pemberi
Ya Allah ya Tuhan kami, perlihatkan kepada bangsa ini, yang benar nampak sebagai kebenaran dan beriklah kekuatan kepada bangsa ini untuk senantiasa berpegang teguh kepada-Mu, perlihatkan pula pada bangsa ini ya Allah, yang salah nampak sebagai kesalahan dan berilah kekuatan kepada kami untuk senantiasa menjauhinya.
Ya Allah ya Tuhan kami, bangsa ini telah melakukan kekeliruan dan kesalahan, tetapi ya Allah, ampunilah kami, dan jangan Engkau bebankan kepada bangsa ini beban berat seperti yang pernah Engkau timpakan kepada bangsa-bangsa terdahulu, dan jangan pula Engkau timpakan kepada bangsa ini, azab yang kami tidak sanggup menanggungnya.
بارك الله لى ولكم في القرأن العظيم ونفعني وإياكم مما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم أقول قولي هذا واستغفر الله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات وللمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه انه هو الغفور الرحيم
بارك الله لى ولكم في القرأن العظيم ونفعني وإياكم مما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم أقول قولي هذا واستغفر الله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات وللمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه انه هو الغفور الرحيم
( DiKutip Dari Milis IFG_PSHT Dikirim Oleh M.A.S )