Sabtu, 06 Agustus 2011

Puasa dan Empat Ruh Islam dalam Kehidupan


Allah SWT berfirman:

“Wa idzqaala rabbuka lil malaaikati innii jaa’ilun fiil ardhi khaliifatan. Qaaluu ataj’alu fiihaa man yufsidu fiihaa wa yusfikuddimaa’a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisulaka. Qaala innii a’lamu maa laa ta’lamuun”

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka (para malaikat) berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji  Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al Baqarah: 30)

Maksud kata ‘khalifah’ dalam ayat di atas adalah manusia. Sedangkan kata asma’ (nilai) ilahiah. Di antara nilai-nilai ilahiah di muka bumi adalah wujudnya keberagaman makhluk baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Seperti contoh binatang ada beberapa jenis ayam: ayam kate, ayam kampung, ayam pedaging, ayam cemani dan sebagainya. Tumbuhan lebih banyak lagi seperti anggrek saja di Indonesia mempunyai berbagai varian dan berbagai jenis rumput-rumputan. Begitulah kira-kira sunatullah (hukum alam) yang selalu menjadikan sesuatu dengan beragam. Apalagi manusia, Allah SWT menjadikan manusia dalam berbagai etnis, ras, suku, bangsa, bahasa, status sosial, dan sebagainya. Hal itu merupakan manifestasi Allah SWT sebagai rabb bagi alam semesta (rabb al ‘aalamin).

Sepertinya Allah swt sengaja tidak menjadikan komunitas manusia dalam kondisi yang seragam, karena Allah swt ingin menguji kualitas manusia, apakah mereka mampu membangun keharmonisan dalam perbedaan? Sehingga tercipta kehidupan yang saling menghormati dalam persaingan yag sehat. Padahal bisa saja (apa sulitnya) Allah swt menciptakan manusia dalam satu macam saja (ummatan wahidah), Allah swt berfirman dalam surah Al Maidah ayat 48 yang artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Allah menciptakan kalian dalam kondisi satu komunitas saja, Tetapi Allah hendak menguji kalian dengan pemberian-Nya itu (heterogenitas) kepada kalian. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.”

Oleh karena itu dalam rangka mensikapi perbedaan inilah kita patut memperhatikan empat hal, yaitu:
1.    Ruh al-ta’addudiyyah, yaitu upaya memahami orang lain. Keragaman manusia bukanlah petaka. Keragaman bangsa Indonesia merupakan rahmat sekaligus potensi. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut perlu kesadaran seluruh elemen/komunitas bangsa ini untuk saling mengenal, menghormati, memahami orang lain di sekitar lingkungannya. Seperti  dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”  (Q.S Al Hujurat: 13)
2.    Ruh al-wathaniyyah, upaya mengembangkan dan melestarikan tradisi. Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa luasnya Indonesia dengan berbagai pulau secara geografis juga menjelaskan bahwa negeri ini kaya akan tradisi. Menghormati budaya sendiri dan melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat terhadap diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas individu/komunitas yang dapat melahirkan karakter sebuah bangsa.
3.    Ruh al-insaniyyah, yaitu upaya menjaga komitmen kemanusiaan universal dalam berbangsa dan bernegara. Yaitu komitmen menjaga esensi kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara di tengah realitas kemajemukan (pluralisme, heterogenitas, keragaman dsb). Maka kita perlu menyadari bahwa seseorang tidaklah mungkin dapat melangkah sendirian tanpa keberadaan orang lain (the others) di sekitarnya. Semua kelompok dan elemen masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Oleh karena itu sudah seharusnya mereka diciptakan ke muka bumi ini untuk saling menghamat-hamati (meminjam bahasa muqaddimah Setia Hati Terate), nasihat menasehati, memayu hayuning bawana baik dalam hal menegakkan kebenaran maupun berlatih dalam kesabaran. Setiap manusia satu dengan manusia lainnya terikat kontrak dengan Tuhan (seperti telah ditegaskan di awal tulisan ini) sebagai ‘khalifah’ di muka bumi (rahmatan lil ‘alamin). Maka dari itu sudah menjadi keniscayaan apabila manusia mempunyai komitmen dan tanggung jawab sosial (social responsibility) terhadap keharmonisan seisi alam ini. Bukan malah tak henti-hentinya membuat kerusakan di muka bumi. Di sinilah falsafah ‘memayu hayuning bawana’ menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan universal di bumi ini. Komitmen manusia (khalifah) tersebut berarti termasuk komitmen untuk tidak melakukan penindasan, diskriminasi, kekerasan serta aksi-aksi kejahatan kemanusiaan lainnya, apalagi terhadap kelompok anak bangsa sendiri, hingga bangsa dan Negara lain. Komitmen tersebut bisa sama-sama kita evaluasi dan perbaiki di bulan suci Ramadan 1432 H ini dengan menjalankan puasa. Media puasa Ramadan akan sangat terasa manfaatnya apabila benar-benar dilaksanakan secara lahir maupun batin. Secara lahir, puasa menurut ahli fikih jelas aktifitas menahan diri (al-imsak), yaitu menahan dari makan dan minum, berhubungan suami istri mulai terbit fajar sampai matahari terbenam dengan niat karena Allah swt. Sedangkan secara batin, puasa menurut para ahli Sufism (ulama tasawuf) adalah menahan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah, bahkan menahan diri dari apapun yang akan memalingkan manusia dari mengingat Allah. Puncak tertinggi dari puasa batin (internal fasting) menurut Imam Ghazali, juga menurut Kess Waaijman dalam Spirituallity: Form, Foundation, Method (2002) sebagaimana telah ditulis oleh DR A. Ilyas Ismail (Republika, 04 Agustus 2011) adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the beloved one). Puasa batin mengantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara kaffah (total) kepada Allah swt. (total surrender to God). Bagaimana puasa batin diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti mensucikan pandangan (shaum al bashar), mensucikan lisan dan perkataan (shaum al lisan), mensucikan pendengaran (shaum al sama’), dan mensucikan anggota tubuh yang lain (shaum al baqiyat al jawarih).   
4.    Ruh al-tadayyun, yaitu memahami ideologi orang lain. Suatu upaya menanamkan kesadaran pada diri sendiri bahwa setiap manusia mempunyai ideologi yang tidak harus sama dengan ideologi kita. Di tengah keragaman ideologi, yang paling ideal adalah memahami substansi ideologi sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan kedamaian. Seperti ideologi ahlussunnah wal jama’ah yang berprinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan I’tidal (berkeadilan). Kelompok moderatisme selama ini selalu mengkampanyekan Islam rahmatan lil ‘alamin (universal), tidak ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Bagi mereka puasa juga merupakan media untuk mengevaluasi diri, seperti apa pola relasi yang dibangun selama ini terhadap kelompok (baca: agama) lain (the others). Menghormati sekaligus menghargai komunitas lain merupakan potret cara ber-Islam secara kaffah (total). Kalau ternyata di bulan suci ini masih ada seorang muslim mempunyai sikap-sikap intoleran, apalagi berbuat yang bertentangan dengan etika social (moral public) seperti mencaci maki, merasa paling benar sendiri, gampang mengkafirkan orang lain, melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis kepada komunitas lain, maka puasa mereka jelas hanya akan mendapatkan haus dan lapar, tidak lebih dari itu.  Inilah esensi dari ruh al tadayyun yang mestinya harus ada pada diri seorang muslim apalagi di bulan puasa sekarang ini. by: M.A.S.Pendiri sekaligus mantan Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Persaudaraan Setia Hati Terate (UKM PSHT) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.