Allah SWT berfirman:
“Wa idzqaala rabbuka lil
malaaikati innii jaa’ilun fiil ardhi khaliifatan. Qaaluu ataj’alu fiihaa man
yufsidu fiihaa wa yusfikuddimaa’a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisulaka.
Qaala innii a’lamu maa laa ta’lamuun”
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka (para malaikat) berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (Q.S. Al Baqarah: 30)
Maksud kata ‘khalifah’ dalam ayat
di atas adalah manusia. Sedangkan kata asma’ (nilai) ilahiah. Di antara
nilai-nilai ilahiah di muka bumi adalah wujudnya keberagaman makhluk baik
manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Seperti contoh binatang ada beberapa
jenis ayam: ayam kate, ayam kampung, ayam pedaging, ayam cemani dan sebagainya.
Tumbuhan lebih banyak lagi seperti anggrek saja di Indonesia mempunyai berbagai
varian dan berbagai jenis rumput-rumputan. Begitulah kira-kira sunatullah
(hukum alam) yang selalu menjadikan sesuatu dengan beragam. Apalagi manusia,
Allah SWT menjadikan manusia dalam berbagai etnis, ras, suku, bangsa, bahasa,
status sosial, dan sebagainya. Hal itu merupakan manifestasi Allah SWT sebagai
rabb bagi alam semesta (rabb al ‘aalamin).
Sepertinya Allah swt sengaja
tidak menjadikan komunitas manusia dalam kondisi yang seragam, karena Allah swt
ingin menguji kualitas manusia, apakah mereka mampu membangun keharmonisan
dalam perbedaan? Sehingga tercipta kehidupan yang saling menghormati dalam
persaingan yag sehat. Padahal bisa saja (apa sulitnya) Allah swt menciptakan
manusia dalam satu macam saja (ummatan wahidah), Allah swt berfirman
dalam surah Al Maidah ayat 48 yang artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya Allah menciptakan kalian dalam kondisi satu komunitas saja, Tetapi
Allah hendak menguji kalian dengan pemberian-Nya itu (heterogenitas) kepada
kalian. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.”
Oleh karena itu dalam rangka
mensikapi perbedaan inilah kita patut memperhatikan empat hal, yaitu:
1. Ruh
al-ta’addudiyyah, yaitu upaya memahami orang lain. Keragaman manusia
bukanlah petaka. Keragaman bangsa Indonesia merupakan rahmat sekaligus potensi.
Untuk mengoptimalkan potensi tersebut perlu kesadaran seluruh elemen/komunitas
bangsa ini untuk saling mengenal, menghormati, memahami orang lain di sekitar
lingkungannya. Seperti dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling
mengenal.” (Q.S Al Hujurat: 13)
2. Ruh
al-wathaniyyah, upaya mengembangkan dan melestarikan tradisi. Sudah menjadi
kemakluman bersama bahwa luasnya Indonesia dengan berbagai pulau secara
geografis juga menjelaskan bahwa negeri ini kaya akan tradisi. Menghormati
budaya sendiri dan melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan
yang kuat terhadap diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas
individu/komunitas yang dapat melahirkan karakter sebuah bangsa.
3. Ruh
al-insaniyyah, yaitu upaya menjaga komitmen kemanusiaan universal dalam
berbangsa dan bernegara. Yaitu komitmen menjaga esensi kemanusiaan dalam
berbangsa dan bernegara di tengah realitas kemajemukan (pluralisme,
heterogenitas, keragaman dsb). Maka kita perlu menyadari bahwa seseorang
tidaklah mungkin dapat melangkah sendirian tanpa keberadaan orang lain (the
others) di sekitarnya. Semua kelompok dan elemen masyarakat mempunyai hak
dan kewajiban yang sama di mata hukum. Oleh karena itu sudah seharusnya mereka
diciptakan ke muka bumi ini untuk saling menghamat-hamati (meminjam bahasa
muqaddimah Setia Hati Terate), nasihat menasehati, memayu hayuning bawana baik
dalam hal menegakkan kebenaran maupun berlatih dalam kesabaran. Setiap manusia
satu dengan manusia lainnya terikat kontrak dengan Tuhan (seperti telah
ditegaskan di awal tulisan ini) sebagai ‘khalifah’ di muka bumi (rahmatan
lil ‘alamin). Maka dari itu sudah menjadi keniscayaan apabila manusia
mempunyai komitmen dan tanggung jawab sosial (social responsibility)
terhadap keharmonisan seisi alam ini. Bukan malah tak henti-hentinya membuat
kerusakan di muka bumi. Di sinilah falsafah ‘memayu hayuning bawana’
menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan universal di bumi ini. Komitmen
manusia (khalifah) tersebut berarti termasuk komitmen untuk tidak melakukan
penindasan, diskriminasi, kekerasan serta aksi-aksi kejahatan kemanusiaan
lainnya, apalagi terhadap kelompok anak bangsa sendiri, hingga bangsa dan
Negara lain. Komitmen tersebut bisa sama-sama kita evaluasi dan perbaiki di bulan
suci Ramadan 1432 H ini dengan menjalankan puasa. Media puasa Ramadan akan
sangat terasa manfaatnya apabila benar-benar dilaksanakan secara lahir maupun
batin. Secara lahir, puasa menurut ahli fikih jelas aktifitas menahan diri (al-imsak),
yaitu menahan dari makan dan minum, berhubungan suami istri mulai terbit fajar
sampai matahari terbenam dengan niat karena Allah swt. Sedangkan secara batin,
puasa menurut para ahli Sufism (ulama tasawuf) adalah menahan diri dari segala
hal yang dilarang oleh Allah, bahkan menahan diri dari apapun yang akan
memalingkan manusia dari mengingat Allah. Puncak tertinggi dari puasa batin (internal
fasting) menurut Imam Ghazali, juga menurut Kess Waaijman dalam Spirituallity:
Form, Foundation, Method (2002) sebagaimana telah ditulis oleh DR A. Ilyas
Ismail (Republika, 04 Agustus 2011) adalah menjadikan Allah sebagai
satu-satunya Yang Terkasih (God is the beloved one). Puasa batin
mengantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara kaffah
(total) kepada Allah swt. (total surrender to God). Bagaimana puasa
batin diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti mensucikan
pandangan (shaum al bashar), mensucikan lisan dan perkataan (shaum al
lisan), mensucikan pendengaran (shaum al sama’), dan mensucikan anggota
tubuh yang lain (shaum al baqiyat al jawarih).
4. Ruh
al-tadayyun, yaitu memahami ideologi orang lain. Suatu upaya menanamkan
kesadaran pada diri sendiri bahwa setiap manusia mempunyai ideologi yang tidak
harus sama dengan ideologi kita. Di tengah keragaman ideologi, yang paling
ideal adalah memahami substansi ideologi sebagai sebuah ajaran yang
mencita-citakan kedamaian. Seperti ideologi ahlussunnah wal jama’ah yang
berprinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan I’tidal (berkeadilan).
Kelompok moderatisme selama ini selalu mengkampanyekan Islam rahmatan lil
‘alamin (universal), tidak ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Bagi mereka
puasa juga merupakan media untuk mengevaluasi diri, seperti apa pola relasi
yang dibangun selama ini terhadap kelompok (baca: agama) lain (the others).
Menghormati sekaligus menghargai komunitas lain merupakan potret cara ber-Islam
secara kaffah (total). Kalau ternyata di bulan suci ini masih ada seorang
muslim mempunyai sikap-sikap intoleran, apalagi berbuat yang bertentangan
dengan etika social (moral public) seperti mencaci maki, merasa paling benar
sendiri, gampang mengkafirkan orang lain, melakukan tindakan kekerasan baik
fisik maupun psikis kepada komunitas lain, maka puasa mereka jelas hanya akan
mendapatkan haus dan lapar, tidak lebih dari itu. Inilah esensi dari ruh al tadayyun
yang mestinya harus ada pada diri seorang muslim apalagi di bulan puasa
sekarang ini. by: M.A.S.Pendiri sekaligus mantan Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Persaudaraan
Setia Hati Terate (UKM PSHT) Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.