Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah: 183).
Ayat ini menggambarkan urgensi ibadah puasa di bulan Ramadan. Kata
kutiba menunjukkan makna bahwa ibadah puasa di bulan
Ramadan adalah wajib. Wajib karena itu kebutuhan fitrah manusia. Allah
swt. yang meciptakan manusia, Dialah yang lebih tahu hakikat fitrah ini.
Dan Dialah yang lebih tahu rahasia diwajibkannya
puasa. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali harus
berpuasa (tak bisa terbantanhkan atau meminjam bahasanya mas HHM puasa
Ramadan sebagai sesuatu
obligation yang tak bisa dipertentangkan lagi) . Karena itu pula Allah berfirman:
kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum. Artinya bahwa manusia terdahulu pun juga terkena kewajiban untuk berpuasa.
Sudah pasti bahwa Allah swt.
tidak mungkin mensyari’atkan sesuatu yang tidak ada gunanya. Sebab Allah
swt. Maha Bijak, Allah berfirman:
alaisallahu bi ahkamil haakimiin. Sudah pasti bahwa
semua ibadah yang Allah swt. ajarkan jika benar-benar dilaksanakan oleh
manusia, akan membawa manfaat yang agung bagi manusia itu sendiri. Dalam
berbagai peristiwa sejarah di zaman Rasulullah
saw. kita selalu membaca bahwa kemenangan demi kemenangan justru terjadi
di saat-saat umat sedang berpuasa di bulan Ramadan. Ada apa dengan
Ramadan? Inilah alasan mengapa tulisan ini secara khusus akan mengungkap
rahasia kemenangan dan hubungannya dengan Ramadan.
Setidaknya ada tujuh spirit kemenangan Ramadan yang bisa diangkat dalam
tulisan ini:
Pertama: Kemenangan Atas Nafsu
Dalam kata ‘ash-shiyam’ pada ayat di atas terkandung makna
al-habsu artinya menahan (atau lebih tepat lagi mengatur). Seorang yang berpuasa pasti sedang menahan atau me-manage
nafsu dengan segala dimensinya. Bukan hanya nafsu makan dan minum,
melainkan juga nafsu hubungan seks dan nafsu memandang
yang haram. Perhatikan diri para kadhang ketika sedang berpuasa. Apa
yang saudara tahan? Bukankah saudara sedang menahan diri dari yang
halal? Makan dan minum itu halal bagi saudara (menurut kaidah ushul
fiqihnya adalah:
al ashlu fil asy-ya’I al ibahah) bahwa hukum makan minum itu pada
awal/dasarnya adalah mubah alias boleh. Berhubungan seks dengan istri
saudara itu juga halal. Tetapi saudara tahan atau saudara atur (karena
kalau waktu habis maghrib sampai waktu imsak,
hubungan suami istri hukumnya sah-sah saja). Dan saudara mampu
menahannya. Apa makna semua ini? Di sini nampak bahwa sebenarnya saudara
sedang bertarung dengan nafsu diri sendiri. Saudara sedang berusaha
mengendalikannya. Sekalipun nafsu itu meronta-ronta
memanggil saudara untuk makan di siang hari yang panas, namun saudara
tetap mengendalikannya sampai tiba adzan maghrib. Bila ternyata saudara
mampu melakukan ini (mampu menahan/mengatur), sungguh tidak ada alasan
bagi saudara untuk terjatuh kepada yang haram,
hanya karena godaan nafsu.
Tapi sayangnya banyak orang yang
hanya menjadikan puasa sekadar ritual yang mati. Mati karena hakikat
puasa yang sebenarnya untuk menahan nafsu, ternyata itu hanya dilakukan
di bulan Ramadan saja. Begitu habis Ramadan,
tidak sedikit dari mereka yang tadinya berpuasa kembali merasa bebas
untuk berbuat dosa. Akibatnya puasa Ramadan tidak membawa makna apa-apa
bagi hidupnya. Ibarat seorang yang makan, begitu makanan ditelan setelah
itu dimuntahkan lagi. Tentu cara hidup ber-Islam
seperti ini tidak akan memberi buah sama sekali bagi kehidupan
ruhaninya. Karena itulah makna puasa yang seharusnya menjadi titik tolak
kemenangan atas hawa nafsu, itu harus tetap dipertahankan sepanjang
hayat, sebab hanya demikian hakikat ritual akan menjadi
seperti air yang disiramkan terhadap sebuah pohon. Maka pohon itu akan
menjadi tumbuh subur, akarnya menghunjam ke bumi dan tangkainya
menjulang ke langit. Setiap orang yang berteduh dibawahnya tidak hanya
akan merasa sejuk melainkan juga akan merasa aman
dengan rindangnya.
Kedua: Kemenangan Atas Setan
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika tiba Ramadan, syetan-syetan diikat. Nabi saw. bersabda:
“Bila Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara syetan-syetan diikat.”
(HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan bahwa iman umat Islam di bulan
Ramadan harus meningkat. Karena itu kita selalu menemukan
suasana yang berbeda di bulan Ramadan. Orang yang tadinya malas shalat
berjemaah di masjid, selama Ramadan ia rajin ke masjid. Orang yang
tadinya tidak pernah membaca Al Qur’an, selama Ramadan selalu membacanya
(bertadarus). Orang yang tadinya kikir bersedekah,
selama Ramadan menjadi dermawan. Orang yang tadinya tidak pernah bangun
waktu fajar, selama Ramadan selalu bangun fajar dan shalat subuh
berjemaah di masjid. Orang yang tadinya tidak pernah shalat malam,
selama Ramadan rajib shalat malam. Orang yang tadinya
mempertontonkan auratnya, selama Ramadan menjadi wanita anggun di balik
jilbab yang indah.
Suasana seperti ini
menggambarkan betapa Ramadan benar-benar membawa keberkahan bagi umat
Islam. Terasa bahwa syetan benar-benar diikat. Syetan tidak bisa
bergerak secara leluasa. Mengapa? (a) Nabi saw.:
wash shaumu junnatun (puasa adalah penangkal dari dosa dan api neraka). Lalu nabi saw melanjutkan :
“Maka ketika kalian berpuasa hendaklah jangan berkata kotor dan
tidak mengumpat. Bila ada orang mencaci katakan kepadanya: maaf aku
sedang berpuasa…” (HR. Bukhari-Muslim) (b) Karena nafsu
selama bulan puasa dikendalikan. Begitu nafsu terkendali
syetan tidak punya jaringan untuk bergerak. Begitu jaringanya menjadi
sempit, amal-amal shaleh meningkat di mana-mana. Begitu amal shaleh
meningkat otomatis iman akan naik. Sayangnya pemandangan ini hanya
berlangsung sekejap. Selama bulan Ramadan saja. Setelah
itu kehidupan yang penuh kemenangan kembali lenyap dalam gelora nafsu.
Dosa-dosa kembali dilakukan di mana-mana tanpa merasa takut sedikit pun.
Jika memang demikian, benarkah kemenangan atas syetan selama Ramadan
adalah kemenangan sejati atau haya kemenangan
sesaat alias semu (tanpa makna)? Sampai kapan umat ini akan terus
berpura-pura kepada Allah swt., menjadi hanya seorang muslim yang baik
di bulan Ramadan saja?
Ketiga: Pahala Dilipat-gandakan
Dalam sebuah hadist Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap amal anak Adam selama Ramadan- dilipatgandakan menjadi
sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa,
Allah berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan
memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
Maksudnya bahwa pahala puasa bukan hanya dilipatgandakan melainkan lebih
dari itu, Allah swt berjanji akan memberikan reward/pahala tanpa batas (unlimited reward). Bayangkan berapa pahala yang akan didapat seseorang sepanjang hari berpuasa, bersedekah,
menegakkan amal-amal wajib lalu dilanjutkan dengan amal-amal sunnah. Di mana semua itu dilipatgandakan tujuh ratus kali lipat.
Bagaimana jika seorang muslim
membaca Al Qur’an dalam sehari lebih dari satu juz. Rasulullah saw.
menerangkan bahwa pahala membaca Al Qur’an hitungannya per huruf. Setiap
huruf satu kebaikan, dilipatgandakan menjadi sepuluh
kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Itulah rahasia, mengapa para
ulama terdahulu begitu masuk Ramadan mereka belomba-lomba mengkhatamkan
Al Qur’an tanpa batas. Ada yang mengkhatamkan sehari sekali. Ada yang
sehari dua kali. Yang selalu saya baca dalam
kitab manaqib-nya Imam Syafi’ie adalah bahwa ia selalu mengkhatamkan Al
Qur’an selama Ramadan 60 kali khatam. Apa yang menarik di sini bukan
logis atau tidaknya, melainkan kesungguhan mereka dalam mengkhatamkan Al
Qur’an. Itulah spirit yang harus kita ambil.
Bahwa akan menilai amal shaleh kita dari segi kuantitas melainkan dari
usaha maksimal yang kita lakukan. Inilah makna ayat:
“Fattaqullaha mas tatha’tum (maka bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuanmu)” (QS. At-Taghabun:16)
Keempat: Dosa-Dosa Diampuni
Minimal ada tiga ibadah dalam Ramadan yang secara tegas Rasulullah saw. mengkaitkan dengan ampunan dosa-dosa terdahulu:
Pertama, ibadah puasa. Nabi saw. bersabda: “Man
shaama Ramadhaan iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min
dzanbihi. (Siapa yang berpuasa Ramadan dengan kesadaran iman dan penuh
harapan ridha Allah, akan diampuni semua
dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim). Kedua, ibadah shalat malam (baca: tarawih). Nabi saw. bersabda:
“Man qaama Ramadhana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa
taqaddama min dzanbihi. (Siapa yang menegakkan shalat malam Ramadan
dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua
dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ketiga, Ibadah shalat malam lailatul qadr. Nabi saw. bersabda:
“Man qaama lailatal qadri iimaanan wah tisaaban ghufira lahu
maa taqaddama min dzanbihi. (Siapa yang menegakkan shalat malam pada
malam lailatul qadr dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah,
akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Perhatikan ketiga hadits di
atas, betapa ibadah Ramadan yang akan menjadi penyebab ampunan dosa
bukan hanya puasa, melainkan ada juga ibadah shalat malam sepanjang
Ramadan termasuk pada malam
lailatul qadr. Tetapi sayangnya banyak orang Islam
hanya mengambil puasanya saja, sementara ibadah-ibadah lain yang tidak
kalah pentingnya dengan puasa diabaikan. Akibatnya tujuan Ramadan yang
sebenarnya merupakan bulan ampunan dosa, tidak
tercapai secara maksimal. Banyak orang beralasan sibuk mencari nafkah
dan lain sebagainya, sehingga tidak sempat memaksimalkan semuanya itu.
Perhatikan Rasulullah saw. sekalipun hari-harinya sibuk berdakwah, pada
bulan Ramadan masih menambah lagi amal-amal
ibadah yang melebihi hari-hari biasanya. Apakah cukup dengan hanya
beralasan bahwa mencari nafkah juga ibadah, lalu mengabaikan membaca Al
Qur’an, shalat malam dan lain sebagainya? Pada suatu ketika, Siti Aisyah
istri Nabi saw, sempat menegur dan bertanya
kepada Kanjeng Nabi, Ya Rasulullah, kenapa engkau selalu tak pernah
putus melakukan shalat malam sepanjang hidupmu? Bukankah engkau telah
dijamin oleh Allah swt, akan masuk surga karena kema’shumanmu Ya Rasul?,
lalu Nabi saw menjawab: wahai istriku Aisyah,
kenapa aku selalu tak henti-hentinya beribadah kepada Allah swt, karena
aku “malu”, meski aku beribadah sepanjang hidupku siang dan malam, aku
belum (dan tak akan) mampu membayar nikmat-nikmat yang telah Allah SWT
berikan kepadaku dan keluargaku.
Kelima: Doa-doa Dikabulkan
Seorang yang sedang berpuasa
doanya mustajab. Sebab ia sedang dalam kondisi menahan nafsu.
Syetan-syetan tidak mendekatinya. Karenanya ia lebih dekat kepada Allah
swt. Ketika ia dalam kondisi sangat dekat kepada Allah
swt., maka doanya akan mudah diterima. Karena itu Nabi saw. menganjurkan
agar orang-orang yang sadang berpuasa banyak-banyak berdoa. Para ulama
mengatakan: Disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa selalu
mengucapkan dzikir, memanjatkan doa, sepanjang hari
selama berpuasa. Sebab puasa membuat pelakunya semakin dekat kepada
Allah swt. Orang-orang yang dekat kepada Allah swt. doanya mustajab.
Berdzikir dan berdoa selama
puasa memang sangat dianjurkan sepanjang hari. Tetapi berdzikir dan
berdoa pada saat menjelang buka puasa sangat ditekankan dan diutamakan.
Nabi saw. bersabda:
“Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.”
(HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih). Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. menjelang buka puasa selalu berdoa:
“Dzahabazh zhomau wabtallatil ‘uruuq watsabatil ajru insyaa
allahu ta’aalaa. (Dahaga telah pergi, kerongkongan telah basah, semoga
Allah memberikan pahala). Abdullah bin Amru ra. selalu membaca doa berikut ini sebelum buka puasa:
“Allahumma as’aluka birohmatikallati wasi’at kulla syai’
antaghfira lii dzunuubii. (Ya Allah aku mohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu
yang mencakup segala sesuatu, agar Kau ampuni aku.”
Imam At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda:
“Tiga orang yang doanya tidak pernah ditolak: Pemimpin yang
adil, seorang yang sedang berpuasa sampai ia berbuka, orang yang
dizholimi.” Jelasnya bahwa selama puasa Ramadan iman
hamba-hamba Allah swt. sedang naik, mereka selalu bangun malam
menegakkan shalat, mereka selalu membaca Al Qur’an, mereka selalu
bersedekah, mereka jauh dari dosa-dosa, mereka bertobat minta ampunan
kepada Allah swt. dan sebagianya. Semua itu merupakan suasana yang
dukung-dukung membuat turunnya keberkahan dari Allah
swt. Semakin banyak keberkahan yang turun semakin mudah doa yang kita
panjatkan dikabulkan oleh Allah swt.
Keenam: Raih Lailatul Qadr
Dalam surah Al Qadr: 3-5 Allah swt. menerangkan keagungan malam
lailatul qadr: “Malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Inilah malam yang sangat Allah swt. agungkan. Pada malam lailatul qadr ini Allah swt. pernah menurunkan Al Qur’an. Bukan hanya itu, setiap malam
lailatul qadr Allah memberikan kesempatan kepada
hamba-hamba-Nya untuk menutupi kekurangan masa lalunya dengan beribadah
menegakkan shalat, berdzikir dan membaca Al Qur’an. Bayangkan pahalanya
khsusus dan luar biasa. Tidak bisa dibandingkan
dengan pahala beribadah selama 1000 bulan. Kata khairun pada ayat di atas menunjukkan makna lebih baik, bukan sama. Perhatikan betapa keutamaan ibadah pada malam
lailatul qadr hendaklah diraih dengan sungguh-sungguh.
Perhatikan kata khairun min alfi sahrin
(lebih baik dari seribu bulan). Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, pernah
melakukan hitung-hitungan tentang hakikat seribu bulan itu. Beliau
mengatakan: 1000 bulan
= 84 tahun 3 bulan. Saya mencoba merenungkan hakikat ini. Saya menemukan
betapa angka tersebut menggambarkan usia terpanjang rata-rata manusia.
Artinya, bila kita pikir-pikir ayat tersebut, kita akan segera mengambil
kesimpulan bahwa beribadah pada malam
lailatul qadr masih lebih hebat pahalanya dibanding
dengan pahala ibadah sepanjang hidup. Tetapi maksudnya di sini bukan
lantas mencukup dengan ibadah pada malam
lailatul qadr kalau setelah itu tidak beribadah
sepanjang hayat? Ini salah. Itu maksudnya adalah (a) bahwa kita secara
normal menyadari bahwa masih banyak ibadah yang kurang maksimal, atau
bahkan sangat kurang. Perlu adanya back up pahala,
untuk menutupi kekurangan-kekurangan itu. (b) Kita seharusnya -selama
hidup- selalu beribadah kepada Allah swt. untuk menutupi
nikmat-nikmat-Nya yang tidak pernah putus. Tetapi karena kesibukan yang
demikian banyak, serta kelemahan iman yang kita punya, tentu
banyak kondisi yang tidak bisa dipenuhi. Allah swt. yang Maha Pengasih
memberikan peluang agar kita bisa mengimbangi nikmat-nikmat tersebut.
Karenanya dibukalah malam
lailatul qadr.
Rasulullah saw. memberikan tuntunan agar
lailatul qadr itu diburu pada sepuluh malam terakhir
Ramadhan. Terutama malam-malam ganjil: 21, 23, 25, 27, 29. Banyak para
sahabat dan para ulama yang menekankan secara khusus malam tanggal 27
Ramadan. Tetapi demikian, mereka menganjurkan
agar tidak mencukupkan hanya dengan malam tanggal 27 saja (Jawa: malem pitulikuran). Sebab tidak mustahil malam
lailatul qadr itu akan terjadi pada malam-malam
lainnya. Karena itu hendaknya seorang hamba Allah swt. selalu bangun
setiap malam. Karena tidak ada yang tahu pasti kapan dan tanggal berapa
sebenarnya
lailatul qadr itu terjadi. Karena itu sebagian
sahabat mengatakan: Siapa yang yang bangun menegakkan shalat setiap
malam sepanjang tahun ia pasti dapat keistimewaan
lailatul qadr.
Sebenarnya lailatul qadr
ini adalah suatu kesempatan yang sangat istimewa dan sangat mahal.
Seharusnya setiap orang yang beriman bersungguh-sungguh untuk meraihnya.
Seharusnya mereka sejak dini sudah
bersiap-siap dengan segala daya upaya untuk mendapatkannya. Seperti
mereka berdaya upaya untuk meraih medali dalam sebuah olimpiade.
Seharusnya mereka menyesal seumur hidupnya ketika tidak terlibat dalam
perlombaan ini. Padahal Allah swt. telah berfirman:
“Fastabiqul khairaat (berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (QS. Al
Baqarah:148). Tetapi sayangnya banyak orang beriman tidak tertarik
dengan perlombaan. Bahkan banyak dari mereka yang cuek dan tidak
terpanggil untuk mempersiapkan diri supaya mendapatkannya.
Pun tidak sedikit yang tidak menyesal karena tidak kebagian
keberkahannya. Apakah mereka telah merasa kebanyakan pahala, sehingga
merasa cukup dengan pahala amal yang selama ini mereka kerjakan? Coba
pikirkan seberapa persenkah pahala yang kita dapatkan dibanding
dengan pahala para sahabat Nabi saw.? Nabi saw. bersabda: “Janganlah
kau mengejek sahabat-sahabatku, demi Allah seandainya kau infakkan emas
sebesar gunung Uhud, pahala yang kau dapatkan itu tidak akan mencapai
segenggam atau separuhnya dari pahala
yang mereka dapatkan.” Perhatikan sedemikian agungnya pahala para sahabat itu, itu pun mereka masih berlomba-lomba meraih malam
lailatul qadr.
Ketujuh: Kejar Level Taqwa
Ayat tentang puasa di atas, ditutup dengan
la’allakum tattaquun (agar kamu bertaqwa). Artinya
bahwa tujuan utama puasa Ramadan adalah untuk membangun kesadaran taqwa
dalam pribadi seorang muslim. Taqwa seperti yang dikatakan Ubay bin
Ka’ab ra. kepada Umar bin Khaththab adalah:
“Bahwa orang yang betaqwa itu seperti orang berjalan di tempat yang banyak durinya. Kanan-kiri, bawah-atas ada duri.”
Bayangkan apa yang dia lakukan? Tentu ia sangat berhat-hati, jangan
sampai duri itu menggores tubuhnya. Begitu juga taqwa. Anda
berhati-hati dari pandangan yang haram seperti anda berhati-hati dari
duri, itu taqwa. Anda berhat-hati dari harta haram, jangan sampai barang
itu masuk ke perut anda, atau ke perut istri dan anak anda, seperti
anda berhati-hati dari duri, itu takwa. Anda
berhati-hati dari dosa-dosa kecil apalagi besar seperti anda berhat-hati
dari duri, itu taqwa.
Perhatikan betapa taqwa
merupakan totalitas kehati-hatian seorang hamba dalam menjalankan
ketaatan sekaligus kepatuhan kepada Allah swt., jangan sampai sedikit
pun dari apa yang dia lakukan dimurkai Allah swt. Itulah rahasia
mengapa Allah swt. mengikat pada ayat di atas antara puasa (ash-shiyam)
dengan taqwa. Sebab ketika seseorang berpuasa dia telah mengendalikan
nafsunya. Dan hanya dengan mengendalikan nafsu, seseorang secara
bertahap akan naik ke level taqwa. Karena itu dalam
Al Qur’an masalah taqwa merupakan tema sentral. Katika Allah swt.
menceritakan pedihnya siksaan neraka itu sebenarnya supaya orang
bertaqwa. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.
At Tahrim: 6). Begitu juga ketika Allah swt. menceritakan keindahanya
surga dan kelezatan makanan dan minuman di dalamnya, itu tidak lain
supaya manusia bertaqwa.
Lebih dari itu, banyak ayat
dalam Al Qur’an yang menekankan pentingnya bersikap taqwa: (a) Di
pembukaan surah Al Baqarah, Allah swt. langsung menceritakan sifat-sifat
orang yang bertaqwa. (b) Dalam surah Ali Imran:133,
Allah swt. menegaskan bahwa surga dipersiapkan untuk mereka yang
bertaqwa: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa.” (c) Dalam
surah Al Hujurat: 3, Allah swt. menunjukkan bahwa paling mulianya
manusia adalah orang-orang yang paling bertaqwa. (d) Dalam surah Al
Qashash:83, Allah swt. menerangkan bahwa kemenangan itu hanya milik
orang-orang yang betaqwa:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan
kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Dalam surah Al Qalam:34, lagi-lagi Allah
menceritakan indahnya surga yang dipersiapkan untuk mereka yang bertaqwa: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.”
I’tibar (Lesson Learn)
Intinya, Ramadan adalah nikmat
agung sekaligus tamu agung yang datang setahun sekali. Di dalamnya
banyak kesempatan bagi orang-orang beriman untuk meningkatkan iman dan
mencucikan dosa-dosa dengan memohon ampun kepada
Allah swt. tidak hanya puasa, banyak ibadah Ramadan yang diajarkan Allah
swt. dan Rasul-Nya yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah puasa.
Seperti ibadah shalat malam, i’tikaf, banyak bersedekah, mengkhatamkan
Al Qur’an dan lain sebagainya. Siapa yang bersungguh-sungguh
melaksanakan semua itu, kemenangan pasti akan dia capai. Sebaliknya bagi
siapa yang mengabaikan, dia sendiri yang rugi. Ingat bahwa tidak ada
yang bisa menjamin bahwa seseorang bisa hidup sampai ke Ramadan tahun
depan. Karena itu, ketika ternyata kita diberi
kesempatan memasuki Ramadan tahun ini, janganlah sekali-kali
disia-siakan. Segeralah bergegas untuk beramal. Segeralah
bersungguh-sungguh untuk menggunakan kesempatan ini secara maksimal.
Semoga Allah swt. menerima amal ibadah kita semua. Amien.
Wallahu a’lam bish-shawab. By: M.A.S,
Santri Ponpes Salafiyah Al Ikhlas Kabupaten Lebak-BANTEN, Alumnus
Jurusan Peradilan Agama (PA) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo
Semarang, sekarang menjadi Pengurus Bidang Keorganisasian Persaudaraan
Setia Hati Terate (PSHT) Cabang Jakarta Selatan.